Menciptakan Kota Hijau
Konsep Kota Hijau
Think global, act local. Slogan ini mungkin sudah didengar beberapa kali dan pada akhirnya menjadi tidak berarti sama sekali dengan adanya urbanisasi besar-besaran yang sangat cepat. Pada 1950, satu dari tiga orang—bahkan kurang—tinggal di daerah perkotaan. Saat ini sudah hampir setengahnya—tiga miliar orang—tinggal di daerah perkotaan. Kemungkinan pada 2030, dua dari tiga orang—bahkan lebih—akan tinggal di daerah perkotaan dan 90% dari pertumbuhan populasi urban ini terjadi di negara berkembang. Pada 1950, hanya New York yang memiliki lebih dari 10 juta penduduk. Kemungkinan pada 2015 akan ada 23 megacities seperti ini dimana 19 di antaranya berada di negara-negara berkembang. (Our Planet, Juni 2005)
Beberapa faktor terjadinya urbanisasi adalah karena masalah ekonomi, sosial, dan budaya. Beberapa waktu yang lalu, urbanisasi di negara-negara berkembang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi, dimana adanya ketersediaan lapangan kerja yang masih luas. Saat ini, lapangan kerja itu sudah semakin sempit—bahkan bisa dibilang sudah tidak ada—sehingga menyebabkan banyak orang terjebak pada level kemiskinan. Lebih dari satu juta orang berada pada kondisi seperti ini, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan jumlah itu akan semakin bertambah lebih dari dua juta untuk 15 tahun ke depan. Pada akhirnya, masalah lingkungan hidup tidak lagi berputar pada wacana ‘mengapa’, tetapi ‘bagaimana’ urbanisasi ini bisa mengancam bumi dan ekosistemnya.
Ekosistem alam adalah inti dari keberlangsungan hidup kita, di manapun kita tinggal—di daerah perkotaan ataupun di daerah pedesaan. Alam menyediakan udara, makanan, dan minuman untuk kebutuhan hidup manusia. Alam mengatur lingkungan kita dengan membersihkan udara (melalui pohon) dan membersihkan air (melalui dataran tinggi dan lembah-lembah). Satu pohon, pada kenyataannya hanya mampu menyediakan oksigen untuk dua orang saja. Alam pun telah memperkaya hidup manusia melalui ruang-ruang hijau dimana kita bisa berekreasi dan merasa nyaman sehingga bisa melakukan kontak sosial dengan sesama.
Daerah urban telah mengimpor banyak sekali minyak bumi (sebagai bahan bakar), makanan, dan air. Kemudian, kota-kota itu pun mengekspor sampah, limbah cair, dan polusi udara. Sudah barang tentu, kedua proses itu mengimbas pada kerusakan ekosistem yang telah ada. Urbanisasi telah menyebabkan kerusakan ekosistem tidak hanya berskala nasional tetapi juga dunia. Polusi udara pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan cuaca yang sangat ekstrem. (Berdasarkan data The World Watch Institute pada 2002, kota-kota besar telah mengimpor 11.500 ton bahan bakar, 2.000 ton makanan, dan 320.000 ton air minum. Sementara yang diekspor adalah 25.000 ton CO2, 1.600 ton limbah padat, dan 300.000 ton limbah cair.)
Kota Hijau atau Green City adalah tema dari Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang dicanangkan pertama kali pada 2005 dimana San Francisco adalah kota pertama yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Istilah ‘Kota Hijau’ digaungkan berkenaan dengan faktor urbanisasi sehingga menyebabkan kota-kota besar menjadi tidak terkendali. Kota Hijau adalah konsep perkotaan dimana masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial harus dijaga keseimbangannya demi generasi mendatang yang lebih baik. Oleh karena itulah, para pemimpin kota-kota sumber urbanisasi bertanggung jawab terhadap masalah ini. Masalah lokal yang harus dipikirkan bersama agar keberlangsungan Planet Bumi tetap terjaga. Di sinilah posisi strategis act locally, while thinking globally tidak hanya sekadar slogan semata.
http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/26/menciptakan-kota-hijau/